Wednesday, November 16, 2016

Contoh Kritik Seni Lukis


Berikut ini adalah Contoh Kritik Seni, berupa karya lukis yang berjudul Ironi dalam Sarang :

Karya Lukis Mulyo Gunarso

“Ironi Dalam Sarang”
Contoh Kritik Seni

Judul karya : Ironi dalam Sarang
Nama Seniman : Mulyo Gunarso
Bahan : Cat Akrilik dan pensil di atas Kanvas
Ukuran : 140 cm x 180 cm
Tahun Pembuatan : 2008

1. Deskripsi Karya

Karya lukis oleh Gunarso yang berjudul “Ironi dalam Sarang” masih divisualisasikan dengan metaforanya yang khas yaitu bulu-bulu walaupun tidak sebagai figure sentralnya. Material subjeknya adalah gambar mengenai semut-semut yang mengerumuni sarang burung dan diatasnya dilapisi lembaran koran, didalamnya terdapat bermacam-macam macam makanan seperti, beras putih, yang diberi alas daun pisang di atasnya terdapat seekor semut, bungkusan kertas seolah dari koran bertuliskan ulah balada tradisi, potongan dari sayuran kol, satu butir telur dan juga makanan yang dibungkus plastik bening, disampingya juga terdapat nasi golong, seperti ingin menggambarkan makanan untuk kenduri. Selain itu di dalam sarang juga terdapat kerupuk dan jajanan tradisional yang juga dibungkus plastik bening, dan entah mengapa diantara sejumlah makanan yang berbau tradisional juga terdapat sebuah apel merah, minuman soda bermerek coca-cola yang tentunya bukan menggambarkan produk dalam negeri. Tumpahan coca-cola menjadi pusat krumunan semut yang datang dari segala penjuru.

Medium lukisan Gunarso adalah cat akrilik yang dikerjakan di atas kanvas berukuran 140 cm x 180 cm dengan kombinasi pensil pada backgroundnya membentuk garis vertikal. Teknik yang digunakan dominan ialah dry brush yaitu teknik sapuan kuas kering. Bentuk atau form dari karya Gunarso ialah realistik dengan gaya surealisme. Proses penciptaannya terlihat penuh persiapan dan cukup matang tercermin dari hasil karyanya yang rapi, rumit, dan tertata. Gunarso sepertinya asyik bermain-main dengan komposisi.bagaimana dia mencoba menyampaikan kegelisahanya dalam bentuk karya dua dimensi yang menyiratkan segala kegelisahan melalui torehan kuas di kanvas dengan pilihan warna- warna yang menjadi karakter dalam karya lukisnya.


2. Analisis

Makna atau isi karya seni selalu disampaikan dengan bahasa karya seni, melalui tanda atau simbol. Ungkapan rupa dan permainan simbol atau tanda tentu tidak datang begitu saja, ada api tentu ada asap. Begitu juga saat kita menganalisis sebuah karya, perlu tahu bagaimana asap itu ada, dengan kata lain, bagaimana kejadian yang melatarbelakangi penciptaan karya. Pada dasarnya tahapan ini ialah menguraikan kualitas unsur pendukung ‘subject matter’ yang sudah dihimpun dalam deskripsi.

Representasi vsual ditampilkan dengan bentuk realis yang terencana, tertata dan rapi, sesuai dengan konsep realis yang menyerupai bentuk asli suatu objek.Permainan garis pada background dengan kesan tegak, kuat berbanding terbalik dengan bulu-bulu yang entah disadarinya atau tidak. Penggunaan gelap terang warna juga sudah bisa memvisualisasikan gambar sesuai nyata, tetapi Gunarso tidak memainkan tekstur disana. Kontras warna background dengan tumpahan coca-cola yang justru jadi pusat problem justru tidak begitu terlihat jelas agak mengabur, begitu juga dengan kerumunan semut-semut sedikit terlihat mengganggu, tetapi secara keseluruhan komposisi karya Gunarso terlihat mampu sejenak menghibur mata atau pikiran kita untuk berfikir mengenai permasalahan negri ini.


3. Intepretasi

Setiap karya seni pasti mengandung makna, membawa pesan yang ingin disampaikan dan kita membutuhkan intepretasi/ penafsiran untuk memaknainya yang didahului dengan mendeskripsikan. Dalam mendeskripsikan suatu karya seni, pendapat orang membaca karya seni boleh saja sama tetapi dalam menafsir akan berbeda sebab diakibatkan oleh perbedaan sudut pandang atau paradigma.

Gunarso tidak pernah lepas dari hubunganya pada kegelisahan sosial, yang selalu menjadi isu sosial bangsa ini. Dengan bulu-bulunya yang divisualkan dalam lukisan sebagai simbol subjektif, yaitu menyimbolkan sebuah kelembutan, kehalusan, ketenangan, kedamaian atau bahkan kelembutan, kehalusan itu bisa melenakan dan menghanyutkan, sebagai contoh kehidupan yang kita rasakan di alam ini. Inspirasi bulu-bulu itu didapatnya saat dia sering melihat banyak bulu-bulu ayam berserakan.

Dalam karya ini, Gunarso mengibaratkan manusia seperti semut, yang selalu tidak puas dengan apa yang didapat, menggambarkan mengenai seorang atau kelompok dalam posisi lebih (misalnya pejabat) yang terlena oleh iming-iming negara asing, sehingga mereka sampai mengorbankan bahkan menjual “kekayaan” negerinya kepada negara asing demi kepentingan pribadi atau golonganya. Divisualkan dengan semut sebagai gambaran orang atau manusia (subjek pelaku) yang mana ia mengkerubuti tumpahan coca-cola sebagai idiom atau gambaran negeri asing. Gunarso ingin mengatakan mengenai ironi semut yang mengkerubuti makanan, gula, sekarang mengkerubuti sesuatu yang asing baginya, walaupun cukup ganjal sebab semut memang sudah biasa dengan mengekerubuti soft drink coca-cola yang rasanya manis. Mungkin Gunarso mengibaratkan semut tadi sebagai semut Indonesia yang sebelumnya belum mengenal soft drink, sedangkan sarang burung sebagai gambaran rumah tempat kita tinggal (negeri ini), yang ironisnya lagi dalam sarang terdapat makanan gambaran sebuah tradisi yang bercampur dengan produk asing yang nyatanya lebih diminati.

Dalam berkarya gunarso mampu mengemas karyanya hingga mempunyai karakter tersendiri yang mencerminkan bagian dari kegelisahan, latar belakang serta konflik yang disadurkan kepada audiens, bagaimana ia mampu menarik dan memancing audiens untuk berinteraksi secara langsung dan mencoba mengajak berfikir mengenai apa yang dirasakan olehnya mengenai issu yang terjadi di dalam negerinya, kegelisahan mengenai segala sesuatu yang lambat laun berubah.

Perkembangan zaman yang begitu cepat, menuntut kita untuk beradaptasi dan menempatkan diri untuk berada di tengahnya , namun itu semua secara tidak kita sadari baik itu karakter sosial masyarakat, gaya hidup dan lain sebagainya dari barat tentunya, masuk tanpa filter di tengah-tengah kita, seperti contoh, pembangunan gedung dan Mall oleh orang asing di negeri kita ini begitu juga dengan minimarket, café yang berbasis franshise dari luar negri sebenarnya adalah gerbang pintu masuk untuk menjadikan rakyat Indonesia semakin konsumtif dan meninggalkan budayanya sendiri. Hal itu berakibat pada nasib kehidupan makhluk di sekeliling kita atau lingkungan di sekitar kita. Gunarso seolah ingin memberi penyadaran kepada kita, untuk memulai menyelamatkan dan melestarikannya, siapa lagi kalau tidak dimulai dari kita?


4. Penilaian

Penilaian sebuah karya seni bukan berbicara tentang baik atau buruk, salah atau benar melainkan tentang pemaknaan itu meyakinkan atau tidak. Karya seni dapat dinilai dengan bermacam-macam kriteria dan aspek, Barret, menyederhanakan penilaian karya seni ke dalam 4 kategori yaitu realisme, ekspresionisme, formalism, dan instrumentalisme. Untuk karya Gunarso kali ini, penilaian yang akan digunakan ialah paham ekspresionisme, yang besifat subyektif, penialaian keindahan suatu karya seni tidak hanya berdasar objek yang dilukis tetapi juga menyangkut isi dan makna.

Karya seni tidak lahir dari begitu saja, selalu berkaitan, berdasar pengalaman-pengalaman yang pernah dirasakan sebagai sumber inspirasi potensial , yang dimaknai sebagai pengalaman estetik. Hasil karya sebagai representasi dari emosi-emosi modern seperti karya Gunarso, yang ingin merepresentasikan kemelut yang terjadi dalam perkembangan negeri ini, termasuk keresahannya tentang hal itu.

Coca-cola tidak selamanya manis, dan yang manis tidak selamanya dirasakan manis oleh orang yang berbeda. Semut yang pada dasarnya menyukai sesuatu yang bersifat manis sehingga menjadi hal yang sangat wajar apabila semut-semut itu lebih suka mengerumuni tumpahan coca-cola dibandingkan makanan lain yang berada dalam sarang itu meskipun masih ada satu dua semut yang mengerumuni beras dan bungkusan kerupuk.Seperti halnya manusia yang oleh Gunarso dalam karya ini digambarkan seperti semut lebih menyukai hal-hal yang yang menyenangkan dan menguntungkan untuk mereka tanpa mempedulikan akibat negatifnya walaupun itu asing untuk mereka. Akan tetapi tidak semua orang ingin merasakan hal yang sama sebab masih ada orang-orang yang tetap mempertahankan sesuatu yang sejak dulu sudah menjadi miliknya.

Dalam pembuatan karya-karyanya Gunarso seolah tidak ingin meninggalkan bulu-bulu yang menjadi metafornya walaupun dia sudah bereksperiman dengan bermacam-macam media dan tema yang berbeda ,seperti yang dilakukan para seniman-seniman ekspresionis yang menciptakan bentuk-bentuk baru tanpa meninggalkan keunikan dan individualitas mereka. Gunarso melukiskan tumpahan coca-cola sebagai pusat kerumunan semut untuk menghadirkan penekanan emosional. Penempatan coca-cola diantara makanan-makanan dalam negeri juga dibuat untuk membangkitkan emosi yang melihatnya.Kelebihan dari karya Gunarso adalah bahwa karyanya ini mempunyai komposisi warna dan penempatan objek yang enak dilihat mata, dengan warna-warna yang ditampilkannya sangat serasi dengan ide lukisan yang dia angkat.

Tetapi salah satu yang menjadi kekurangan karyanya adalah adanya bulu dalam lukisannya sepertinya sedikit menganggu, alangkah lebih baik jika Gunarso menghilangkan salah satu idiom yang terdapat dalam lukisannya, apakah itu semut-semutnya atau bulu-bulunya. Hal itu dikarenakan dengan keberadaan semut-semut sedikit menghilangkan/menutupi bulu-bulu dalam lukisannya yang menjadi ciri khas dalam setiap lukisan yang dia ciptakan.

DAFTAR PUSTAKA

Bangun C. Sem, 2001, Kritik Seni Rupa, Penerbit ITB, Bandung
Kadir, Abdul, 1975, Pengantar Estetika, Sekolah Tinggi Seni Rupa ’’ASRI‘’, Yogyakarta
Marianto M. Dwi, 2002, Seni Kritik Seni, Lembaga Penelitian ISI Yogyakarta, Yogyakarta
Sudarmaji,1979, Dasar kritik Seni Rupa, Dinas Museum dan Sejarah, Jakarta, Yogyakarta.

Sumber : http://sen1budaya.blogspot.co.id

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.